Kamis, 17 Juli 2008

HAKI

SEJARAH DAN PERKEMBANGANHAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA Intellectual property right sebagai terminologi hukum di Indonesia diterjemahkan menjadi beberapa istilah Hak kekayaan intelektual, Hak Atas Kepemilikan Intelektual, Hak Milik Intelektual, Hak Atas Kekayaan Intelektual.Akan tetapi pasca reformasi perudang-undangan dibidang Intellectual property right tahun 2000, dalam literatur hukum Indonesia Intellectual property right lebih sering ditemukan dan diterjemahkan sebagai Hak kekayaan intelektual, meskipun masih ada juga akademis yang mempergunakan Hak Atas Kepemilikan Intelektual (“HAKI”) sebagai terjemahan dari istilah Intellectual property right.Intellectual property right dipadankan menjadi Hak kekayaan intelektual dalam bahasa Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07 Tahun 2000 dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam suratnya Nomor 24/M/PAN/1/2000, dapat disingkat dengan “HKI” atau dengan akronim “HaKI” Meskipun sudah ada surat keputusan dari Menteri sebagaimana dimaksud diatas, dalam tataran akademis masih ada yang menggunakan istilah Hak Atas Kepemilikan Intelektual sebagai padanan istilah Intellectual property right, antara lain dipergunakan oleh Ahmad M. Ramli dan Ranti Fauza Mayana, keduanya akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dalam masing-masing disertasi dalam meraih gelar akademik doktor ilmu hukum yang kemudian dibukukan menjadi H.A.K.I (Hak Atas Kepemilikan Intelektual) : Teori Dasar Perlindungan Rahasia Dagang dan Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas .Lebih lanjut, menurut Ahmad M. Ramli, Hak Atas Kepemilikan Intelektual (“HAKI”) merupakan terjemahan yang lebih tepat sebagai padanan Intellectual property right (IPR), karena “kepemilikan” menunjukkan pengertian yang lebih konkret dibanding dengan “kekayaan” yang lebih luas, dan sejalan dengan konsep hukum perdata yang menerapakn istilah “milik” atas benda yang dipunyai seseorang. Hak Atas Kepemilikan Intelektual (“HAKI”), menurut Ranti Fauza Mayana yang mengutip Fokema Andrea , merupakan terjemahan dari Intelectuelle Eigendom dalam bahasa Belanda atau intellectual property right (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai hak khusus yang dimiliki oleh manusia atas hasil buah pikirannya. Pengertian HKI, menurut Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan maupun seni dan sastra yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki mamfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Sedangkan HKI, menurut Agus Sardjono, adalah hak yang timbul dari aktivitas intelektual manusia dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Lebih lanjut, pengertian HKI, menurut Ahmad M. Ramli, merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. HKI adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya.HKI menurut para ahli secara garis besar dibedakan sebagai berikut:1. Hak Cipta, terdiri dari:a. Hak Cipta (Copy Rights)b. Hak yang bertetangga dengan hak cipta (Neighbouring Rights). 2. Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights)a. Hak Paten (Patent Right);b. Model dan Rancang Bangun (Utility Models)c. Desain Industri (Industrial Design)d. Merek Dagang (Trade Mark)e. Nama Niaga/Nama Dagang (Trade Names)f. Sumber Tanda atau Sebutan Asal (Indication of Source or Appelation of Origin)Rezim/Jenis HKI menurut klinik HKI IPB, terdiri dari (1) Paten, (2) hak cipta, (3) merek dan indikasi geografis, (4) desain industri, (5) desain tata letak sirkuit terpadu, (6) rahasia dagang, (7) perlindungan varietas tanaman.TRIPs telah menggariskan bahwa bidang HKI meliputi Hak Cipta (copyright); Merek Dagang (trademarks); Paten (patent); Desin produk industri (industrial designs); Indikasi geografi (geographical indication); Desin tata letak (topography) sikuit terpadu/lay-out desain (topography of integrated circuits); dan Perlindungan informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed information). Dengan demikain dapat dinyatakan bahwa HKI dalam perspektif hukum Indonesia terdiri dari:1. Hak Cipta dan hak terkait dengan Hak Cipta (Copy right dan Neiughbouring right), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang budaya, seperti folkslore dapat berbentuk ekspresi cerita rakyat, musik, tarian, nyanyian;2. Hak milik industri (Industrial property right), yang terdiri dari:a. Paten (patent), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang teknis medis, industri, pertanian, dan bidang lainnya yang berkaitan.b. Desain Industri (industrial design), termasuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) bidang desain, kerajinan tangan, dan simbol-simbol.c. Merek (Barang dan Jasa) (trade mark) termasuk indikasi geografis (Geographycal Indication), indikasi asal (indications of origin) atau indikasi sumber (indication of source) dan penamaan asal (appellations of origin);d. Penggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);e. desain tata letak sirkuit terpada (layout design of integrated circuit )f. Rahasia Dagang (trade secret)g. Varietas tanamanII. Dasar Filsafat Rezim HKIIstilah property dalam terminologi intellectual property right, menurut Harsono Adisumarto sebagaimana dikutip oleh Soedjono Dirjosisworo, merupakan kepemilikan berupa hak , yang mendapat perlindungan hukum dalm arti orang lain dilarang menggunakan hak itu tanpa izin pemiliknya. Kata intellectual, menurut Harsono Adisumarto sebagaimana dikutip oleh Soedjono Dirjosisworo, berkenaan dengan kegiatan berdasarkan daya cipta dan daya pikir dalam bentuk penemuan sebagai benda immateriil. Objek HKI menurut Sudikno Mertokusumo adalah hasil pemikiran manusia, suatu pendapat, tanda (merek) atau penemuan, jadi tidak sekedar benda saja. Hak (right) merupakan perumusan dari titik temu dan hubungan antara hukum alam dengan hukum positif, yang dibedakan menjadi hak kodrati dan hak positif. Demikian pula hak kekayaan intelektual, merupakan suatu hak, sehingga di dalam HKI juga terdapat hubungan yang erat antara hukum alam yang diwakili oleh Grotius dan Aquinas dengan neopositivis, khususnya teori utilitarian dari Bentham .Teori utilitarian dalam perspektif HKI dikembangkan oleh para pendukung rezim HKI menjadi reward theory dan prinsip utilitarian . Sehingga peraturan perundang-undangan nasional suatu negara dan konvensi atau perjanjian internasional dalam bidang HKI, harus diciptakan untuk kebahagian masyarakat atau kebahagian dari bagian terbesar warga masyarakatnya.Rezim HKI merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk pada seperangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI misalnya UU Merek, UU Hak Cipta, UU Paten, UU Rahasia Dagang, UU Sirkuit Terpadu, UU Variertas Tanaman dan ketentuan-ketentuan internasional tertentu berupa konvensi ataupun perjanjian internasional di bidang HKI seperti Paris Convention, Berne Convention, TRIPs Agreement, dan lain-lain yang diberlakukan oleh penguasa atau pembentuk Undang-undang dalam teritorial negaranya masing-masing.
HAKI DI MASYARAKAT ADAT
Pemahaman yang beragam tentang masyarakat adat di Indonesia dan pandangan yang merendahkan terhadap mereka membuat kita alpa untuk menggali potensi-potensi yang termuat di diri masyarakt adat itu. Salah satu potensi mereka yang bisa digarap untuk perkembangan ekonomi adalah ketrrampilan dan pemahaman (traditional knowledges) mereka akan seni, termasuk tari-tarian, ukir-ukiran, tenunan, pengetahuan pemuliaan tanaman dan pengetahuan tentang tanaman obat-obat.
Dewasa ini karya seni masyarakat adat (seperti ukir-ukiran suku Asmat di Irian Jaya ataupun Tenun Ikat di NTB dan NTT) sering ditiru motifnya oleh para pedagang. Yang dengan meniru motif tersebut mendapat keuntungan, bahkan bisa mengajukan Paten atas desain yang mereka "ciptakan". Namun mereka lupa desain mereka itu diilhami - jika tidak mau mengatakan mencuri - dari motif tradisional. Banyak desainer-desainer ternama yang mengedepankan nuansa etnik dalam desain mereka, tanpa perlu meminta izin kepada masyarakat pemilik motif tersebut. Dalam budaya masyarakat adat menjadi pantangan besar untuk meniru motif yang dipunyai oleh masyarakat adat lainnya. Bahkan proses penenunan misalnya termasuk pewarnaannya sangat berbeda satu sama lain. Budaya saling menghormati dan menghargai karya cipta orang lain ini masih sangat kuat di dalam diri mereka.
Sementara pemahaman masyarakat adat akan khasiat tumbuhan obat-obatan masih dihargai rendah (under value) oleh masyarakat luas, bahkan oleh kebijakan pemerintah. Padahal dari 200 juta penduduk Indonesia ini hanya 10 persen saja yang bisa dilayani oleh Rumah Sakit, Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat, maupun obat-obatan mutakhir lainnya, sisanya masyarakatlah yang memelihara kesehatan mereka lewat jamu-jamuan tradisional. Jika pengetahuan mereka akan tumbuhan obat-obatan dikembangkan melalui perlindungan hak eksklusif, tentunya akan memberi semangat kepada mereka untuk tetap mempertahankan - bahkan meningkatkan - pengetahuan itu.
Pada tataran lain jika kita berbicara soal pengetahuan masyarakat adat di bidang sumber-sumber tanaman (plant resources), ini menyangkut : 1) plasma nutfah (germplasm) dan pengetahuan petani tentang tumbuhan domestik, serta 2) produk-produk natural yang dihasilkan tanaman alam dan pengetahuan tentang tanaman dan produk-produknya (Brush : 1996). Masih pula dihargai rendah juga tidak mendapatkan perlindungan yang layak.
Untuk itu perlindungan terhadap pengetahuan dan karya mereka perlu dipikirkan, salah satu caranya adalah dengan memberikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas pengetahuan dan buah karya mereka. Namun, ide ini memerlukan waktu yang panjang untuk diterapkan; pertama karena hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh Hak Cipta dan Hak Paten atau tidak adanya pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek Hak Cipta dan Hak Paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari sisem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberi hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat. Ini yang melandasi penolakan di atas.
Di Indonesia sendiri, belum ada pihak yang khusus mendalami aspek hukum HAKI bagi masyarakat adat. UU tentang HAKI sama sekali tidak mengatur hal di atas. Dari beberapa survey awal, HAKI lebih berkembang untuk melindungi Hak Cipta di bidang musik (dengan adanya Yayasan Karya Cipta Indonesia = YKCI yang memperjuangkan hak cipta pemusik), sementara hak cipta bagi penulis, perupa maupun pelukis masih jauh dari yang diharapkan. Terbentuknya YKCI dan disusul dengan berdirinya masyarakat HAKI sebenarnya membuka peluang perdebatan tentang HAKI, namun isu HAKI bagi masyarakat adat belum pernah muncul ke permukaan. Sementara para pengacara/ahli hukum yang mendalami HAKI, tentu saja lebih memikirkan Hak Paten dan Hak Cipta merek-merek dagang terkenal. Pendek kata, berbicara tentang masyarakat adat masih belum mencapai platform bersama, apalagi berbicara tentang HAKI bagi masyarakat adat dianggap bukan isu sentral.
Padahal justifikasi ke arah sana sangat sahih, Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994 mengakui tentang HAKI masyarakat adat yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati, konvensi ILO 169 juga mengakui hak kolektif dan hukum kebiasaan masyarakat adat (yang sayangnya belum diratifikasi oleh Indonsia). Sementara arsu globalisasi - perlahan tapi pasti - akan terus melaju, salah satu yang terus berkembang adalah persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang disepakati dalam Putaran Uruguay 1993 lalu.
Di dataran lain, potensi masyarakat adat Indonesia belum seluruhnya tergali, yang memang sayangnya tidak ada data statistik yang mendukung tentang potensi dan jumlah mereka. Namun jika kita berpatokan bahwa umumnya masyarakat adat adalah masyarakat pedesaan, maka angka itu bisa mencapai 80% penduduk Indonesia atau 160 juta jiwa.A

3 komentar:

myblog mengatakan...

wuih banyak buanget materinya yang baca bisa nyampe ketriduran tuch he he he he

myblog mengatakan...

ya namanya juga tugas ya harus banyak maklum anak rajin harus lengkap gtu loh

Unknown mengatakan...

thanks udah ngasih infonya neh ya...


Blogspot Template by Isnaini Dot Com